
Surabaya Pojokkiri.com – Gelombang dukungan terhadap Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, terus menguat. Dari tokoh politik hingga aktivis muda, semua menyuarakan pesan yang sama: menjaga kondusivitas Jawa Timur sebagai gerbang baru Nusantara.
Dukungan datang dari berbagai kalangan, di antaranya senator Lia Istifhama Mat Mochtar, Ketua BKN Jatim Gus Rofii, tokoh masyarakat Rudy Gaol, hingga aktivis muda Jatim, Baijuri.
Mereka sepakat, ketenangan sosial di Jawa Timur merupakan kunci utama dalam menjaga stabilitas nasional. Namun, di tengah suasana itu muncul wacana aksi pada 3 September yang dinilai justru berpotensi memecah belah.
Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama atau akrab disapa Ning Lia, secara terbuka menanggapi rencana aksi tersebut. Ia menilai gerakan itu tidak mencerminkan nilai luhur demokrasi.
“Rencana Aksi 3 September tidak ada relevansinya dengan semangat konstitusi. Itu sangat mencolok kepentingan pribadi oknum tertentu dan merusak nilai demokrasi, karena tuntutannya inkonstitusional,” tegasnya, Sabtu (23/8/2025).
Menurutnya, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 memang memberikan jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Namun, kebebasan itu bukan berarti tanpa batas.
“Kalau tujuan berpendapat justru menodai kedamaian, itu bukan teladan yang baik untuk negeri ini. Hak asasi manusia juga mencakup hak hidup dalam kondusifitas dan ketertiban,” tambahnya.
Ning Lia mengingatkan bahwa setiap aksi publik harus tetap menghormati hak asasi orang lain. Ia mengutip Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 yang menjamin hak hidup tenteram, aman, damai, dan bahagia.
Indonesia, lanjutnya, sedang menghadapi pekerjaan besar di tingkat global, khususnya setelah Presiden Prabowo berhasil menjalin kesepakatan dagang dengan mitra Eropa dan Amerika. Jawa Timur disebut sebagai barometer perdagangan internasional yang tidak boleh terganggu oleh provokasi tak produktif.
“Semangat ini jangan diprovokasi dengan sikap-sikap tidak produktif. Masyarakat butuh stimulus untuk bekerja dan berkarya, bukan diganggu aksi yang unfaedah,” tegas Ning Lia.
Dalam refleksinya, Ning Lia mengaku pernah memimpin aksi demonstrasi. Namun, ia menegaskan perbedaan antara aksi yang sehat dengan yang sekadar provokatif.
“Saya sendiri pernah memimpin demo dua kali. Alhamdulillah, saat itu yang disuarakan jelas, konteksnya jelas, jadi tidak keluar jalur. Itu yang membedakan antara demo sehat dan demo imajiner,” ujarnya.
Lebih jauh, Ning Lia mengajak para tokoh publik dan masyarakat luas untuk menjadi teladan positif. “Kita yang dewasa harus jadi model yang sehat bagi anak cucu. Suarakan yang benar, berikan solusi yang tepat. Jangan jadi aktor hate speech atau fitnah, karena itu akan menjadi investasi buruk untuk generasi mendatang,” katanya.
Ia menutup dengan pesan agar masyarakat tetap berpijak pada nilai luhur bangsa. “Anak-anak kita harus dicerdaskan. Jangan sampai mereka jadi pahlawan kesiangan yang bahkan tidak tahu siapa yang menindas atau menjajah. Media sosial memang membuka keterbukaan, tapi juga membawa tanggung jawab. Pertanyaannya, sudah bijakkah kita sebagai orang tua?” pungkasnya (Sam)

