Pojokkiri.com

Garam Lokal Mulai Terasa Tawar

Oleh ; Adi Pranoto
Ketua IKA PMII Kalianget
SAYA tidak bicara soal garam yang mulai berubah rasa. Saya juga tidak berbicara soal indera pengecap yang mulai tak berfungsi. Tapi ini tentang harga garam lokal yang anjlok dan hasil produksi garam dari petani yang tak terserap.
Ketika berbicara tentang garam, tentunya Pulau Madura tidak dapat dikesampingkan, sebab pulau yang masuk dalam wilayah administrasi Jawa Timur itu menjadi salah satu daerah penghasil garam terbesar di Indonesia. Lahan garam di Madura tidak hanya dimiliki petani lokal, tapi juga terdapat lahan milik perusahaan besar seperti PT. Garam.
Namun meski begitu, dalam dua tahun terakhir, petani garam di Madura mengalami nasib pahit lantaran hasil produksi banyak tak terserap oleh perusahaan.
Pada musim produksi tahun 2018-2019 terdapat 100 ribu ton garam yang tidak terserap, dan untuk tahun 2020 (Proses berjalan) sudah sekitar 1000 ton garam yang di hasilkan, tentunya belum terserap.
Tidak hanya itu, dari segi harga juga menjadi pukulan keras bagi para petani. Karena harga garam saat ini sangatlah rendah dibanding harga kebutuhan pokok lainya.
Padahal garam merupakan salah satu bahan pokok makanan. Tanpa garam makanan apapun tidak akan terasa nikmat. Sayangnya saat ini bahan pokok satu ini terasa tidak lagi ternilai jika dipandang dari segi harga.
Harga garam KW1 saat ini hanya di kisaran Rp. 300.000/ton dan KW2, Rp. 200.000/ton. perkilonya adalah 200-300 rupiah. Dari hal tersebut sudah dapat dipastikan bahwa, harga garam lokal lebih murah dari sebungkus krupuk makan.
Jika di telisik ada dua faktor yang menyebabkan harga garam murah. Pertama pemerintah mengimpor garam dari luar negeri melebihi kebutuhan, dan yang kedua garam tidak lagi dianggap sebagai barang penting.
Dalam tulisannya di Bisnis.com pada 3 Mei lalu, Rizal juga menuliskan bahwa data Kemenko Perekonomian menunjukkan, pada tahun 2018 defisit garam nasional sebesar 1,8 juta ton, sedangkan garam impor yang masuk ke Indonesia mencapai 2,7 juta ton. Sehingga hal tesebut mengakibatkan surplus sekitar 1 juta ton.
Tidak berhenti di sana, ternyata hal itu kembali terulang pada tahun setelahnya. Pada 2019 sampai awal 2020 kembali terjadi surplus sekitar 1,6 juta ton.
Kedua, garam tidak lagi dianggap sebagai barang penting. Dalam Perpres no. 71 tahun 2015, garam tidak tercantum sebagai barang penting. Namun menurut Kemenko Kemaritiman dan Investasi hal itu akan segera direvisi dengan memasukkan garam sebagai barang penting.
Nyatanya pada tahun 2020 hal tersebut tidak terwujud. Dalam Perpres No. 59 tahun 2020, tentang perubahan Perpres No.71 tahun 2015, garam masih belum tercantum sebagai barang penting. Akibatnya sejak tahun 2015 hingga saat ini garam selalu mengalami fluktuasi harga, bahkan seringkali anjlok dan sangat murah.
Dari beberapa permasalahan di atas dapat saya tarik kesimpulan bahwa pemerintah memang sudah enggan memperhatikan nasib para petani garam. Jangankan untuk membeli ataupun menampung garam milik para petani, untuk mencantumkan di Perpres saja seakan sudah tidak sudi lagi.
Pemerintah seharus dapat menyerap hasil produksi lokal, dan jika masih kurang dari jumlah kebutuhan barulah dapat mengimpor dari luar. Namun ternyata semua itu berbalik arah sehingga bisa jadi di kemudian hari prodak lokal tidak lagi berharga sama sekali.
Jika saja permasalahan ini tidak segera teratasi maka kekayaan yang ada di Indonesia semakin hari akan semakin tergerus dengan sendirinya. Bagaimana tidak sementara pihak pemerintah telah buta terhadap kekayaan alamnya sendiri.
Kemudian, di mana peran PT Garam sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kembali berkantor pusat di Kabupaten Sumenep di tengah permasalahan petani saat ini?
Sebagai BUMN, mestinya PT Garam bisa memberikan soluasi terhadap persoalan yang dihadapi petani. Misalnya dengan memaksimalkan program penyerapan garam rakyat.
Hadirnya PT Garam bukan untuk bersaing dalam produksi kwalitas garam rakyat, tapi mestinya bisa mengedukasi petani agar garam yang mereka produksi lebih berdaya saing dengan garam impor.
Sayangnya semua itu tidak terjadi. Pada tahun 2020 ini kouta penyerapan garam rakyat oleh PT Garam dikurangi yang seharusnya ditambah. Padahal hakekat program penyerapan garam rakyat ialah sebagai upaya menstabilkan harga garam di tingkat petani. Sehingga petani merasakan program tersebut.
Sebetulnya langkah seperti itu sangat sederhana dan akan mengangkat kualitas garam hasil produksi lokal. Namun entah mengapa hal itu sangat sulit untuk diperhatikan.
Pengawalan terhadap nasib buruk para petani garam, khususnya di Sumenep sebetulnya juga sudah seringkali dilakukan. Namun hasilnya selalu jauh panggang dari api. Lalu, jika pemerintah dan PT. Garam sudah tidak dapat menyediakan solusi terhadap para petani, maka pada siapa lagi mereka akan menggantungkan nasibnya?

Berita Terkait

Bupati Bojonegoro Menyampaikan Proges Kebijakan Tahun 2021

Digelar, Malam Penganugerahan Lomba Video Kreatif Cover Lagu “Ngleyer” di Hotel Dewarna

Pimpinan Dewan Temui Para Pendemo – Ratusan Mahasiswa PMII Demo Tuntut Turunkan Harga-Harga